Renungan PINGGIR, YOHANES 8 : 30 – 36

“Merdeka, Merdeka, Merdeka !!!” Itulah pekik para pejuang kita, yang membakar semangat, tekad, dan keberanian untuk menghadapi musuh, dengan ancaman sekelas maut sekalipun. Pekik yang tulus, ihlas dan murni, tapi di akhir-akhir ini telah banyak termanipulasi. Seharusnya di alam kemerdekaan ini orang merasakan jaminan keamanan, tapi masih banyak yang hidup dalam perhambaan, dalam berbagai manifestasi. Perhambaan korupsi, perhambaan intoleransi, perhambaan mayoritas, juga perhambaan arogansi. Seperti arogansi kekuasaan, kapital, atau intelektual. Benyamin Frangklin – pendiri, pejuang, pemikir dan Filsuf Amerika– berkata : “Security without liberty is called prison” atau “Keamanan tanpa kebebasan disebut penjara” ). SEKARANG, masih banyak orang yang terkungkung dalam penjara perhambaan. Ini bukan pesimis, tapi koreksi untuk ke depan yang optimis.
Bacaaan Alkitab di 17 Agustus 2025 adalah dialog Yesus dengan Orang Yahudi yang telah percaya Yesus. Yudaisme meyakini para “keturunan Abraham tidak pernah menjadi hamba siapapun” (ayat 33). Dalam kata lain, warisan ini telah menjamin bahwa mereka adalah orang merdeka. Mereka yakin, tak ada kemerdekaan yang lebih baik di luar ini. Yesus menggiring pemikiran itu pada substansi “hamba” dan “orang Merdeka” dengan berkata “sesungguhnya setiap orang berbuat dosa adalah hamba dosa” ( ayat 34 ). Kemerdekaan itu bukan merujuk saja pada arti social politis tapi terutama pada spiritual religious. Maksudnya, apa artinya menjadi keturanan Bapa Abraham, serta menjadi Israel yang dibebaskan dari belunggu Mesir, tetapi binasa karena dosa ???. Bagaimana memahami kemerdekaan SEJATI –perspektif sipiritual-religius menerangi perspektif sosiak-politik– Tuhan Yesus mengajarkan 3 cara dalam Yohanes 8:30-36. Pertama : “tetap dalam firman-KU” (ayat 31B). Mengikuti perintah dan pengajaran-Nya. Jangan melenceng atau menyimpang dari kehendak-Nya. Karena Firman-Nya itu adalah kebenaran yang memerdekakan. Setiap perkataan-Nya adalah jalan dan arah kehidupan yang menuju pada kekekalan bukan kebinasaan. Dunia seringkali menawarkan berbagai jalan, seperti pepatah “ada banyak jalan ke Roma”. Namun dalam konteks ketaatan pada Yesus, maka pepatah ini tidak berlaku. Kedua : “kamu benar-benar adalah murid-Ku” (ayat 31C). Menjadi murid Yesus, bukan sekedar murid, atau murid yang biasa-biasa. Tetapi mesti tinggal dan berjalan selalu dengan Yesus. John Stott — Teolog Inggris, dalam bukunya “The Radical Principle” — berkata “Menjadi murid yang radikal dalam mengikut Yesus berarti membiarkan Dia mengarahkan agenda hidup kita. Kita tidak boleh menetapkan batasan-batasan ke-Tuhanan-Nya atau menghindarkan diri dari harga yang harus dibayar karena komitmen kita”. Kepemuridan pada Yesus berarti hidup dalam kemerdekaaan yang baru, tidak lagi dituntun sebagai hamba dosa, serta dikendalikan dengan keinginan dosa, namun berada dalam tuntunan Kristus yang menghentar pada hidup yang kekal. Ketiga : “hamba tidak di dalam rumah, tapi anak tinggal dalam rumah” (ayat 35). Perbedaan hamba sebagai bukan orang Merdeka, mereka tingal di dalam rumah, tapi seperti berada di luar rumah. Sedangkan anak sebagai orang Merdeka, berada di luar atau di dalam rumah, seperti di dalam rumah. Karena kemerdekaan di dalam Kristus. Selamat HUT Proklmasi Kemerdekaan RI ke-80, selalu hidup menjadi orang Merdeka di dalam Kristus, dan menjadi pejuang kemerdekaan dalam KASIH. Amin.
